Tomy lagi-lagi telat pulang. Sudah beberapa minggu ini dia jadi sering telat pulang ke apartementnya. Katanya sih semenjak ia naik ke semester 7, banyak tugas yang numpuk. Oh iya, namaku Anyla. Aku dan Tommy sudah berpacaran 1 tahun 11 bulan. Artinya 1 bulan lagi kami segenap berpacaran 2 tahun. Aku mengenal Tommy saat kami sama-sama mengikuti acara yang diadakan kampus. Disana, aku dan Tommy ditempatkan dalam 1 grup. Kebersamaan kami yang bisa dibilang tidak terduga itu membuat kami menjadi dekat satu sama lain. Bahkan setelah acara itu selesai, kami berdua tetap berhubungan. Sampai sekitar 1 bulan kemudian, kami resmi jadian.
Banyak yang telah kami lalui bersama, setaun yang berat telah berhasil kami lalui. Banyak sekali masalah yang pernah kami alami. Mulai dari sahabat-sahabatku yang menentang habis-habisan hubunganku dengan Tommy sampai masalah Tommy yang dulu suka ngedrug. Bagaimana kami bisa bertahan sampai sekarang? Itu cerita yang sangat panjang. Sampai sekarang pun, sahabat-sahabatku masih menentang hubunganku dengan Tommy. Dina dan Lusi bilang kalau si Tommy merupakan salah satu cowo paling playboy di kampus. Mereka mati-matian mencegahku menerima Tommy sebagai pacarku. Meskipun pada akhirnya mereka tetap gagal karena aku lebih memilih menutup telingaku dan lebih mendengarkan kata hati kecilku. Hati kecil berbicara, aku memang mencintai Tommy sepenuh hati.
Mengenai asalah Tommy ngedrug, aku baru tahu ketika kami sudah pacaran sekitar 3 bulan. Dia tidak menceritakannya kepadaku secara langsung. Waktu itu, aku sedang mencari hape di tas miliknya, yang aku temukan adalah jarum suntik yang siap pakai masih dalam keadaan terbungkus. aku masih ingat betul hari itu, hari dimana aku terdiam kaku dengan jarum di tanganku. Air mataku menetes tak terhentikan sambil terus memandang tak percaya ke arah benda yang ada di telapak tanganku. Namun pada akhirnya, Tommy mengaku juga padaku. Ia memelukku erat-erat sambil terus berjanji tidak akan pernah menyentuh barang yang bisa membunuh dirinya itu. aku hanya diam sambil terus menanggis di dalam dekapannya yang kurasakan semakin kencang. Hati kecilku kembali berbisik, kalau aku harus percaya dengan janjinya.
Tidak terasa sekarang hampir 2 tahun kami bersama. Menghabiskan waktu bersama. Semua yang telah kami lalui mengajarkan kami untuk saling percaya satu sama lain. Tommy memang bukanlah pacar yang sempurna, ia sosok yang keras dan pencemburu. Tapi dibalik sikapnya yang seperti itu, aku tahu kalau ia benar-benar mencintaiku apa adanya.
Saat aku sedang menonton TV di ruang tengah apartementnya. Aku mendengar suara telfon berbunyi. Aku beranjak berdiri dan mulai menghampiri telfon di dekat ruang tidur Tommy . Belum sempat aku mengangkat ganggang telfon, mesin penjawab telfon sudah terlebih dahulu menjawab panggilan itu. “Hey, gue tommy, lagi ngggak di tempat. Tinggalin pesan” itulah yang terdengar dari mesin penjawab telfon. Aku tersenyum kecil, suaranya tidak berbeda jauh dengan suaranya yang biasa aku dengar. “Tom, kamu ada di apartement nggak? Hp kamu kok mati. Aku udah di tempat kita mau dinner nih. Cepetan yah sayang” terdengar suara merdu di balik sana. Senyum di wajahku lantas berubah. Aku tertegun kaget, masih tak percaya dengan apa yang aku dengar. Aku berusaha menarik nafas panjang dan membuangnya dengan perlahan sambil menahan titik-titik air mata yang hampir jatuh dari pelupuk mataku. Aku dengan sekuat tenaga berusaha menenangkan hati dan pikiranku. Aku tidak boleh mengambil kesimpulan seenakku saja, aku harus tetap tenang. Bisa saja semua ini tidak seperti yang aku bayangkan. Aku kembali melangkah perlahan ke ruang TV. Ku cari chanel-chanel yang bisa mengalihkan pikiranku. aku terus meyakinkan hatiku, aku harus percaya kepadanya.
Aku tidak bertanya apa-apa kepadanya saat ia pulang ke apartement. Entah apa yang aku takutkan, aku takut tersakiti dengan kenyataan yang tak mau kuketahui atau aku takut hubunganku dengannya akan berakhir. Akhirnya, aku tidak mengungkit masalah pesan suara yang aku dengar tadi. Hal itu akan kuanggap tidak pernah terjadi dan aku tidak pernah mendengar apapun.
*******
1 bulan sudah berlalu, Tommy akhir-akhir ini semakin bertambah sibuk saja dengan kegiatan perkulihaannya. Kami jarang bertemu. Kami yang biasa bertemu setiap hari kini bisa dibilang hanya 3 kali dalam seminggu. Ia juga semakin jarang menelfonku. Aku juga sudah jarang pergi ke apartementnya. Ia mengambil kunci duplikat yang pernah ia berikan padaku. Ia bilang kunci asli miliknya hilang sehingga ia berniat membuat 1 kunci duplikat lagi dengan kunci duplikatnya yang ada padaku. Namun sampai sekarang, ia tidak pernah mengembalikan kunci dengan gantungan love itu kepadaku. Aku hanya berusaha maklum dengan kesibukkan mahasiswa semester akhir sepertinya. Mungkin ia belum sempat membuat kunci duplikat. Tidak kupungkiri hatiku sedikit gelisah. Apa benar ia sibuk dengan perkuliahannya? Atau apakah ia memang ingin menghindariku? Atau apakah ia sudah menemukan wanita lain di sisi nya? Lagi-lagi aku kembali menekan perasaanku. Aku harus percaya padanya.
Hari ini, hari jadi kami di tahun kedua. Aku masih ingat betul perayaan hari jadi kami tahun lalu. Kami merayakannya di apartement Tommy. Seluruh apartementnya penuh dengan hiasan-hiasan balon dan ornamen-ornamen pesta yang kami pasang sendiri. Kami berdua menghabiskan waktu seharian di dalam ruangan yang penuh dengan hiasan ornament-ornamen love itu. Moment yang begitu bahagia. Entah bagaimana perayaan kami tahun ini. Apakah Tommy sudah menyiapkan semuanya seperti tahun lalu? Aku tidak mendengar kabar darinya sama sekali. Mungkin ia ingin membuat kejutan untukku. Aku sebenarnya juga sudah membuat kejutan untuknya. Aku sudah berhasil membuat sebuah kue tar. Meskipun tanganku lemasnya bukan main, tapi aku benar-benar bahagia, karena kue ini jadi sesuai dengan harapanku. Kue tar dengan hiasan hati dengan nama kami diatasnya. Aku akan membawanya ke apartementnya.
Aku sudah sampai di depan pintu apartementnya dengan kotak kue di tanganku. Aku sengaja tidak menelfon Tommy, aku ingin memberikan kejutan untuknya. Aku yang sudah dandan seanggun mungkin mulai menekan tombol bel pintu depannya. Gagang pintu bergerak, aku sudah menyiapkan senyum termanis di wajahku sekarang. Senyumku berubah total saat kulihat sosok di depanku. Seorang cewek cantik yang sedang memakai celemek melihat bingung ke arahku. Aku tidak kalah kaget. Siapa cewek ini, sedang apa dia di apartement Tommy? Aku masih melamun tidak percaya. Apakah aku salah alamat? Tidak! Aku yakin betul. Ini apartement Tommy. Ada kaktus di depan pintunya. Aku membisu, entah apa yang sanggup kukatakan sekarang.
“Cari siapa yah?”ucapnya lembut sambil menatap ke arahku yang masih tertegun. “Tommy” ucapku datar. “Tommy, belum pulang. Temennya yah?Ayo masuk dulu. Kita tunggu sama-sama” ucapnya dengan senyum. Aku tahu betul senyum itu. Itu senyum saat seorang cewek yang sedang kasmaran menunggu pacarnya pulang. Itu posisiku setahun yang lalu. Aku tidak bisa membalas senyum itu. wajahku kaku tidak bisa bergerak. “nggak usah, makasih” ucapku masih datar. Aku berbalik dan mulai berjalan meninggalkan pintu itu dengan perlahan menuju lift yang tidak jauh dari tempat itu. Aku tidak bisa menahan titik-titik air mataku yang kini sudah mulai mengalir melewati pipiku.
Sampai di depan lift, air mataku semakin tidak bisa terbendung lagi. Aku kembali berbalik dan berusaha menghapus air mataku sebelum orang-orang di dalam lift nanti melihatku dengan keadaan menyedihkan seperti ini. Saat denting lift berbunyi. Aku berbalik dan berusaha menunduk untuk menyembunyikan mataku yang masih tidak bisa berhenti mengalirkan air mata. “Nyla” aku mendengar suaranya. Aku tidak sanggup mengangkat wajahku untuk melihatnya, air mataku semakin deras mengalir kini bisa kurasakan kotak kue yang kubawa sudah mulai basah oleh kerana titik-titik air mataku.
“Nyla, kamu kenapa?” ucapnya lagi, kali ini bisa kurasakan tangannya merangkul pundakku. Ia mengangakat wajahku yang sudah basah dan memandangku dengan tatapan bingung apa yang terjadi. Aku hanya menatapnya dengan tatapan masih tidak percaya. Kenapa ia tega melakukan semua ini kepadaku? Tommy semakin kaget saat melihat aku semakin terisak ketika aku memandangnya. “Ada apa, la?” ucapnya semakin bingung sambil terus mengoyangkan kedua pundakku. Aku masih diam tidak menjawab. Mataku masih memandang tak percaya ke arah matanya.
“Babe, itu temen kamu?” terdengar suara lembut memecahkan pandangan kami berdua. Suara itu berasal dari cewek yang tadi memakai celemek, ia masih tertegun di depan pintu apartement Tommy. Tommy melihat tidak percaya ke arah cewek itu. Genggaman tangannya di pundakku juga lepas seketika. Kini ia sudah tahu, apa yang terjadi padaku. Ia kembali memandangku kali ini dengan tatapan lain, tatapan kalut dan binggung harus berbuat apa. Aku kembali berjalan menjauh dari tubuhnya. Aku berlari masuk ke dalam lift yang masih terbuka. Aku segera menekan tombol untuk menutup pintu lift sekeras mungkin saat kulihat Tommy berlari ke arahku. Aku tidak mau lagi merasakan kehadirannya di dekatku. Aku tidak mau lagi mendengar suaranya. Aku tidak mau lagi mencium aroma tubuhnya. Aku tidak mau lagi melihat dia. Aku tidak mau.
Ketika pintu lift terbuka di lantai 1. Aku kembali berlari keluar dari gedung apartement itu. air mataku semakin mengalir tidak terhenti. Langit juga ikut menanggisi kepahitan yang kurasakan sekarang. Titik-titik hujan kurasakan semakin deras. Aku sampai di jalan raya. Aku berhenti sejanak. Melihat apa yang masih kupegang dengan erat di tanganku. Kotak kue yang sama sekali tidak bermakna lagi. Kuletakkan kotak kue itu di pinggir jalan. Saat kudengar suaranya kembali meneriakkan namaku. Aku kembali berdiri dan kembali berlari menjauh dari dirinya. kenapa ia masih mengejarku? Hatiku sudah cukup hancur, apalagi yang ia mau?
Aku terus saja berlari sampai akhirnya aku jatuh tersandung batu di depanku. Aku kembali berdiri. Saat kulihat ke belakang. Ku lihat Tommy sedang berusaha mengambil kotak kue yang terletak beberapa meter dari tempatku sekarang. Sesuatu menyilaukan mataku. Terlihat truk sedang ngebut di jalan licin menuju ke arah Tommy yang sedang sibuk mengangkat kotak kue itu. yang ada dalam benak ku saat itu hanyalah keselamatan Tommy. Aku tidak bisa membiarkan tommy terluka, aku tidak bisa melihat ia tertabrak truk besar itu. Aku masih mencintainya. Aku mencintainya lebih dari apapun bahkan diriku sendiri. Aku kembali berlari ke arahnya. Kulihat Tommy tersenyum ke arahku sambil merentangkan tangannya untuk menyambutku dalam pelukannya. Senyum yang sudah lama tidak kulihat. Aku juga tersenyum ke arahnya dan berlari ke arahnya dengan langkah yang semakin cepat. Saat aku hampir sampai di pelukannya, aku mendorongnya dengan sekuat tenaga agar ia menyingkir dari tempatnya berdiri sekarang dan membiarkan diriku yang terhantam oleh truk itu.
Badanku lemas. Kulihat dengan samar-samar, Tommy berlari ke arahku dan memelukku dengan erat dalam pelukannya. Tubuhku tidak bisa merasakan sentuhannya lagi. Seluruh tubuhku mati rasa. Aku tidak bisa mencium aroma tubuhnya lagi. Yang tercium olehku hanyalah bau darah yang terus mengalir tanpa henti dari hidungku. Perlahan-lahan suara Tommy yang tengah menangis sambil meneriakkan namaku mulai menghilang. Wajahnya semakin samar dalam pandanganku. Sampai akhirnya aku tidak bisa lagi melihatnya. Dalam nafasku yang terakhir, aku hanya bisa berkata “Aku mencintaimu untuk selamanya”.
Created by Sofi Meloni
0 comments:
Post a Comment