[REVIEW] Ketika Tuhan Jatuh Cinta - Film



"Film Terbaru Reza Rahardian!" 

Itu yang ada di kepala gue pas liat poster film Ketika Tuhan Jatuh Cinta.
Selain Judulnya yang cukup "WOW" dan bikin penasaran, tentunya kehadirannya si abang Reza ini punya andil paling besar bikin gue bela-belain nonton begitu film ini beredar di bioskop. 

Okay cukup ceritanya mengenai kenapa gue nonton filmnya, mari kita mulai pembahasan mengenai filmnya.

"Film ini tentang apa?"

Yang pastinya "Cinta" merupakan tema utama film ini (dilarang teriak yaelah gue juga tahu).
Sebelum nonton, pas liat posternya gue membayangkan cerita cinta ini pasti ada sangkut pautnya dengan agama. Romantisme kalem yang indah gitu.
Dan ternyata setelah nonton, perkiraan gue nggak melesat jauh (pesawat kali ya).

Oh iya, gue nggak tahu kalau film ini ada novelnya. Tahu aja nggak apalagi baca, jadi pengetahuan gue soal jalan cerita adalah NIHIL. Bahkan baca deskripsi filmnya aja nggak. Ini semua karena Reza!

Ceritanya dimulai dengan Fikri yang digambarin sebagai anak yang ingin mandiri dan bebas dari tuntutan Bapaknya yang minta dia buat tinggal di desa dan belajar agama. Pas Fikri bilang ke Bapaknya kalau dia mau nerusin kuliah dengan uang sendiri, si Bapak marah besar dan ngasih ultimatum kalau dia sampai pergi, Fikri nggak usah kembali lagi. Singkat cerita si Fikri - pemuda asgal (Asli Tegal katanya Ko Acong) merantau ke Bandung bermodalkan kemampuan melukis – manual dan pasir. Setelah luntang lantung berusaha jual lukisan buat nerusin kuliah, ia akhirnya ditampung sama Ko Acong (Jangan kaget gitu dong Didi Petet meranin orang Chinese).

Berhasil mengumpulkan uang, Fikri kuliah lagi dan ketemu temen SMA'nya, Lenny. Ternyata mereka berdua menyimpan perasaan ke satu sama lain. Sayangnya pas Fikri baru mau "khitbah" (meminang) Leny, ternyata Leny sudah mau dijodohkan dengan orang lain.

Eits-Eits, jangan banyak asumsi dulu. Film ini bukan cerita cinta soal Fikri dan Leny aja.

Di poster aja ada 1 cewek lagi yang kemudian dikenalin sebagai Lydia, anaknya ko Acong
Hubungan Fikri sama Lydia memang bukan berbau romantisme yang gimana-gimana tapi ada konflik yang bikin mereka jadi dekat (mau tahu konfliknya apa? Nonton makannya...)
Ditambah nanti ada satu kejutan lagi... yaitu satu lagi wanita yang mukanya nggak muncul di poster (loh kok bisa???). Namanya Shira, dia muncul di pertengahan film sebagai pengagum karyanya Fikri.
Sisanya silahkan ditonton sendiri ya.

"Jadi akhirnya Fikri sama siapa?" - Saya juga nggak tahu.


"Aktingnya Reza sebagus di film-film dia sebelumnya?"

Seriously? Kayak gituan masih ditanyain? TIDAK USAH DIRAGUKAN LAGI. hahaha
Dengan rambut kribo, kulit hitam, muka brewokan, jeans belel, dan actingnya.... si Fikri ini bener-bener kayak gembel professional! ( Maap. hahahaha!!!)
Semua karakter yang pernah melekat kuat ke dia sebelumnya (si brengsek di film Kapal Van Der Wijck atau Habibie) luntur dan berganti jadi si Fikri seniman yang urakan.


"Reza mulu… Selain Reza'nya apalagi yang bagus dari film ini?"
Ada banyak hal yang gue secara pribadi suka dengan film ini. Biar nggak bosen baca paragraf demi paragraf, gue tulisin dalam bulet point ya.

1. Opening & Introduction
Opening dan pengenalan siapa aja yang terlibat dalam produksi film ini ditampilkan dengan rapih dan indah (pake bahasa inggris pula – siap-siap go International nih kayaknya). Pengambilan gambar pembuka di kampungnya di Fikri dibuat bagus banget.

2. Wardrobe & Make Up
Dalam hal Wardrobe & Make up (pakaian), karakter Fikri sama Ko Acong dapet banget. Pas awal kemunculan Didi Petet, gue sampe sempet pengen nanya ke temen nonton gue “Didi Petet ada keturunan Chinese ya” – tapi nggak jadi. Pas Didi Petet memperkenalkan diri sebagai Ko Acong, gue baru….”OHHH!!!! pantes kok mukanya berasa ada Chinese-chinesenya” dan ketika diperhatiin ternyata ada touch up khusus di bagian wajah buat bikin Ko Acong jadi keliatan original made in China (lohhhhh).

3.Alur ceritanya bisa diikutin dengan baik.
Meskipun gue selama film merasa… kok lama banget ya.. kapan nih konflik utamanya… yaampun udah jam segini baru kayak gini ceritanya? Tapi setelah sampai ending… gue abru mengerti kenapa film ini dibuat seperti ini…..#nasib.

4. Kualitas akting pemainnya yang keren-keren
Beberapa scene yang bikin perasaan gue sebagai penonton ikut terombang ambing. Misalnya scene pas adiknya Fikri lepas kerudung. Terus juga pas scene “kehilangan” orang yang dicintai (clue: baju hitam) – sumpah dalem banget. Gue ampe nahan-nahan supaya nggak netesin air mata…eh temen nonton gue malah sampe banjir di sebelah gua

5. Lagu Nidji yang membangkitkan suasana banget.

6. Model-model kerudung yang bagus-bagus, unik tapi nggak lebay. Tokoh-tokohnya jadi keliatan makin cantik

7. Dan masih banyak lagi…


“Selain yang bagusnya?”

Ada beberapa bagian film yang menurut gue (sebagai penonton awan) terasa agak janggal, misalnya;

1. Sepanjang film si Fikri ini sosoknya misterius banget. Emosinya nggak tergambar dengan jelas. Perasaannya ke lawan jenis apalagi. Berasa tebak-tebak berhadiah. Mungkin memang karakter Fikri digambarkan seperti itu tapi gue sebagai penonton jadi merasa agak-agak aneh pas Fikri tiba-tiba nembak Leni… atau pas scene dia ngeluarin cincin. Gue binggung sebenarnya Fikri sukanya sama siapa. Satu-satunya gue mengerti Fikri adalah soal perasaannya terhadap orang tuanya. Sisanya? Binggung… Doi kayaknya cuek dan sebodo banget urusan soal cewek.

2. Kalau diperhatiin alisnya Ko Acong aneh juga.. hahaha.

3. Yang meranin tokoh Andy (menurut gue) agak-agak kurang cocok dan kurang klop buat meranin tokoh dalam kondisi itu (Siapakah Andy?- again, makannya nonton). 
4. Jalan ceritanya yang lamaaaa….. tapi pas ending gue akhirnya baru ngeh kenapa bisa selama itu.
5. Karakter Shira yang enggak tahu kenapa bikin kurang sreg (serius ini bukan gue doang yang merasakan – temen nonton gue sampe comment “Dia kayaknya lebih cocok main film Horror” – gue ampe ngakak pas denger komentarnya). Entah make up’nya.. atau wardrobenya.. atau pembawaan karakternya di sepanjang film… Shira ini jadi kurang loveable. Kalau melihat ending, perkiraan gue harusnya Shira ini punya porsi yang cukup besar dalam cerita. Sayangnya dengan “aura” yang ada, dia jadi kurang menonjol dan kurang menarik simpati sampe film selesai.

6. Karakter Lydia (atau mungkin kualitas akting? Ah.. tau apa sih gue) yang terkesan agak flat. Menurut gue Lydia ini harusnya jauh lebih emosional di beberapa scene tertentu… tapi mungkin gue yang ngarep ketinggian. Semua orang bereaksi berbeda kan dalam menghadapi setiap situasi?

7. Banyak scene dimana SMS yang lagi dibaca itu ditunjukin ke penonton. Sayngnya SMSnya nggak ke baca karena tulisan terlalu kecil atau layar handphone kurang dizoom. Jadi kurang bisa nangkep deh isi SMS’nya apaan. Bayangkan… padahal gue nonton di bioskop loh yang layarnya segede gaban! Pake kacamata lagi.

8. Backsound suara “gemuruh” yang suka muncul kurang tepat pada waktunya. Sampe gue suka binggung ngirain bunyi gledek dari luar.

9.Scene yang menjelaskan/menyinggung alasan utama judul film ini terlalu singkat dan suara si tokoh yang nyebutin judul juga kayak sekedar lewat aja. Sayang banget sih menurut gua

10. Pra-penutupan konflik yang bikin gue binggung dan terheran-heran pas lampu bioskop dinyalain (LOHHHH KOKKKK GINI?????!!!!)


“Film ini religious banget nggak sih?”

Salah satu unsur yang diangkat adalah keagamaan, tentunya aspek religusnya pasti ada (dari judulnya aja udah kelihatan). Jalan cerita secara keseluruhan dikemas secara pas porsinya. Maksudnya gue pas di sini adalah semuanya masih terasa realitis dan unsur agama nggak dipaksain gila-gila’an. Konfliknya nggak melulu soal agama kok.


“Jadi intinya film ini bagus?”

Lumayan. Mungkin karena ekpektasi gue ketinggian sebelum nonton jadinya penutupan film ini bikin gue jadi agak gimana gitu.


“Sebenernya endingnya gimana sih?! Daritadi ngomongin ending yang bikin kecewa mulu”

Endingnya….. adalah bersambung ke Ketika Tuhan Jatuh Cinta 2!
(Gimana gue nggak terbenggong-benggong coba! – Gue lagi di Bioskop...dan ini film bukan sinet…never mind).

Udahan dulu baca reviewnya, ayo nonton di Bioskop.
Jangan komentar “Ah tar juga nonggol di TV”. Beda rasanya nonton di Bioskop sama di TV. Kalau Bioskop tuh full fokus! Beda dibanding di TV yang iklan mulu. Lain kali deh gue bikin postingan bedanya nonton di Bioskop sama di TV (Ehhhh???).

Sekian dulu reviewnya.
Terima Kasih pada segenap aktor dan aktris dan semua pihak yang terlibat dalam produksi film ini untuk karyanya. Mohon maaf kalau ada salah-salah kata.
Tetap semangat dan berkarya.

Sofi Meloni

0 comments:

Post a Comment