"Pasti ini filmnya tentang kopi ya?"
Eits! Dugaan Anda kurang tepat. Hahaha.
Saya juga bukan salah satu pecinta kopi namun film ini mampu membuat saya ikut hanyut dalam alur cerita yang ada.
"Kenapa mau nonton?"
Pertama jelas karena ada embel-embel nama "Dee" alias "Dewi Lestari".
Setelah melewatkan masa tayang film Supernova di bioskop, saya bertekad akan nonton salah satu film adaptasi novel keluaran Dee di bioskop. Lalu muncul lah film Filosofi Kopi.
Sebenarnya ketika nonton trailernya, dapat kesan kalau film ini memang tentang kopi. Ternyata setelah saya menonton film ini sampai selesai, cerita dan filosofi yang berusaha disampaikan itu bukan melulu soal kopi dan akhirnya membuat saya sebagai penonton masih tergiang-ngiang pesan yang ingin disampaikan bahkan sampai pada saat saya menulis review ini.
Ceritanya tentang apa?
Secara garis besar, film ini bercerita tentang Ben dan Jody yang mempunyai kedai kopi yang mereka namai "Filosofi Kopi". Untuk menghadapi utang piutang dikarenakan kedai yang mereka miliki, Ben akhirnya bersedia menerima tantangan untuk menemukan racikan kopi terbaik di Jakarta. Proses penemuan kopi terbaik berserta dengan konflik-konflik yang muncul mengungkap cerita-cerita di masa lalu yang membentuk karakterisasi setiap tokoh dalam film ini.
"Bagus?"
Bagus! Film ini bikin saya penasaran dengan karya asli Dee. Setelah nonton film ini, saya buru-buru browsing dan mencari info tentang tulisan mengenai Filosofi Kopi. Sampai saat ini saya belum membaca cerita lengkapnya. Secara garis besar, filosofi kopi merupakan salah satu cerpen yang dibukukan dengan judul Filosofi Kopi. Jumlah halaman isi cerita sekitar 30an halaman. Jika saya lihat dengan sekilas, film ini memang diadaptasi dari sebuah karya tulis dan banyak penambahan-penambahan yang diberikan untuk membentuk kesatuan cerita yang utuh.
"Bagusnya apa?"
Menurut saya, hal yang paling mengangumkan adalah bagaimana karakterisasi tokoh-tokoh yang ada begitu kuat. Terutama karakter Ben yang kelewat idealis dan Jody yang justru kelewat logis. Keberadaan keduanya di sepanjang cerita memberikan gambaran bagaimana dua orang dengan kepribadian yang berbanding terbalik bisa bekerja sama memecahkan masalah dan memulai sesuatu yang disebut dengan persahabatan. Mereka berdua adalah representative sempurnah untuk koordinasi antara hati dan kepala.
Kesamaan konflik mengenai "ayah" yang dimiliki oleh ketiga tokoh utama juga membuat film ini memiliki keutuhan cerita yang mengena di hati.
Saya suka bagaimana ada kesatuan tema mengenai orang tua khususnya ayah yang berusaha diangkat dan membentuk harmonisasi yang baik.
Acting pemain, pengambil gambar yang diambil, dan pesan moral yang berusaha ditampilkan menjadikan film ini begitu mudah dinikmati sampai akhir. Seorang idealis tidak bisa selamanya bersi keras percaya apa yang ia percaya. Sama halnya dengan seorang yang logis tidak bisa selamanya mengaplikasikan solusi terbaik tanpa mempertimbangkan perasaan di dalamnya.
Hal menarik lainnya adalah humor yang diselipkan pada beberapa bagian. Bagaimana Jody dengan keterusterangannya dan juga Ben yang ceplas ceplos memberikan humor dalam porsi yang pas dan mendukung jalan cerita!
Ada yang tidak bagusnya?
Kesempurnaan jalan cerita yang diberikan membuat sulit sekali untuk saya menemukan hal yang tidak kurang baik dalam film ini. Beberapa hal yang menurut saya dapat dikembangkan agar pembaca memahami esensi cerita adalah bagaimana terkuaknya alasan ayah Ben membenci Kopi. Potongan-potongan cerita mengenai masa kecil Ben agak sedikit terlalu berantakan. Awalnya ia digambarkan bagaimana ia melihat sang ayah menolak keras upaya perubahan tanaman kelapa sawit pada lahan kopi yang dimiliki. Kemudian diberikan gambaran bagaimana sang ayah mendadak membeci kopi setelah sang ibu meninggal tiba-tiba.
Meskipun menjelang akhir film dijelaskan bahwa ada koneksi antara perkebunan kelapa sawit dan kematian sang ibu, pesan ini sedikit dulit dicerna oleh penonton. Kertas dengan tulisan "Jika kamu tidak berhenti maka anakmu akan mati" terkesan ambigu. Bahkan teman menonton saya masih bingung dengan koneksi antara kematian sang ibu dengan permasalahan kelapa sawit. Bahkan muncul komentar "Kok aneh ya, ibunya masih sempet nulis begitu sebelum mati."
Tulisan yang ada pada secarik kertas yang saya yakini bukanlah berasal dari ibu Ben memang bisa membuat salah kaprah seperti yang teman saya alami. Jenis tulisan tangan yang ada terlalu "lembut" dan sebenarnya belum cukup untuk menjelaskan penyebab dari kematian sang ibu secara gamblang,
Intinya?
Saya sangat merekomendasikan film ini untuk ditonton. Sekali lagi, ini bukan semata-mata soal kopi. Film ini menceritakan pengalaman hidup yang patut kita renungkan bersama-sama. Sebagai nilai tambahan, kita jadi sedikit tahu mengenai 'keribetan' proses pembuatan kopi itu sendiri.
Saya jadi ikut mengagumi para pecinta kopi di seluruh dunia!
Terima kasih untuk Dewi Lestari yang sudah menulis cerita yang penuh makna ini.
Terima kasih kepada produser dan penulis skenario serta semua team yang terlibat yang menjadikan film ini begitu memesona.
Ayo nonton film ini!!! Highly recommended.
Sofi Meloni
0 comments:
Post a Comment