[REVIEW] Teater Boneka by Emilya Kusnaidi, Orinthia Lee and Ayu Rianna

"Teater Boneka Poppenkast terancam tutup!


Jumlah penonton yang semakin menyusut membuat Erin berjuang keras membuat cerita-cerita baru untuk dimainkan di teater boneka yang ia warisi dari sang kakek. Tapi ini bukan pekerjaan mudah. Erin merasa tak ada yang memahami cita-citanya, termasuk Robert, kekasihnya.

Hingga Erin bertemu Awan, lelaki dengan latar belakang misterius yang memaksa bekerja di Poppenkast tanpa meminta bayaran. Dukungan lelaki itu terhadap kelangsungan teater boneka membuat Erin jatuh hati.

Namun Awan ternyata menyimpan rahasia masa lalu yang membuatnya harus bersembunyi di Poppenkast. Saat rahasia lelaki itu terungkap, ternyata dia bukan orang yang selama ini dikira Erin. Hingga Awan akhirnya harus memilih antara menyelesaikan persoalan masa lalunya atau terus bersama Erin."



Judul: Teater Boneka
Penulis: Emilya Kusnaldi, Orinthia Lee, Ayu Rianna
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 320 halaman
Terbitan: 3 April 2014

Kenapa beli?
Pas masa promosinya, gue sempet denger soal Gramedia Writing Project.
Sempet penasaran dan pengen ikutan tapi karena lagi sibuk workshop dari Gramedia jadi nggak jadi ikut (kok malah curhat)
Waktu pun berlalu dan ternyata pas gue lagi ke Festival Book fair Gramedia di JCC, ternyata salah satu acaranya itu launching buku-buku hasil dari Gramedia Writing Project ini sendiri.
Pas denger yang apply ada ribuan dan yang terpilih hanya 3 terbaik dalam setiap kategori, jadi penasaran... karya seperti apa yang berhasil diterbitin.
Akhirnya gue beli juga pas waktu launchingnya.

Ceritanya tentang apa?
Sesuai Judulnya novel ini mengambil setting dan tema Teater Boneka.
Konflik utamanya adalah tentang Erin yang kekeuh banget mau mempertahankan teater Boneka peninggalan kakeknya. Masalah terbesar yang lagi dihadepin adalah kurang tenarnya teater boneka gara-gara perkembangan zaman.
Seiring berjalannya cerita, muncul seorang cowok bernama Awan yang bersi keras mau kerja di teater boneka Poppenkast meskipun tanpa bayaran.
Dan cerita terus berlanjut dengan terbukanya misteri demi misteri. Sisanya silahkan baca sendiri ya..

Ini cerita horor ya?
Hahaha... ini adalah pertanyaan yang ada di kepala gue pas liat covernya. Sekedar Informasi Gramedia Writing Project (kalau tidak salah) dibagi menjadi 3 genre, Metropop, Horror, sama Teenlit.
Pas ngeliat cover Teater Boneka langsung sok tahu dan nebak, "ini pasti yang genre Horrornya."
Tapi pas diliat logo metropopnya di pojok kanan atas langsung terbenggong-benggong *lebay* deh.
Balik ke pertanyaan awal.
Bukan, ini bukan novel Horror dan tidak mengandung unsur horror sama sekali.
Malangnya nasib boneka klasik Indonesia.  Diinterpretasikan oleh orang-orang seperti gue sebagai hal-hal horor. Hahaha.
BTW, gue juga nanya ke temen "Eh menurut lu ini gimana?" sambil ngasih liat covernya.  Nyartanya, jawaban mereka nggak jauh-jauh dari kesan horror. Hahaha.

Bagus Nggak?
Karena ini adalah karya hasil dari Gramedia Writing Project  yah pasti kualitasnya penulisannya bagus dan di atas rata-rata.
Pas baca beberapa kalimat awalnya agak merasa disajikan dengan gaya penulisan model-model penulis Clara Ng (suer 100% ini pendapat pribadi). Banyak kata-kata yang menurut gue agak khas dan jadul (Hahaha. maaap)
Gue nggak inget persisnya, coba deh baca bab awalnya.
Secara keseluruhan penulisannya rapih dari awal sampai akhir.
Plot yang dipake juga cenderung maju dibubuhi (ce ileee dibubuhi..) beberapa scene flashback .
Pas tengah cerita lebih tepatnya pas identitas si Awan mulai terungkap, jujur gue penasaran banget dan jadi agak susah ngelepasin ni buku.
Siapakah Awan? Kok bisa si pemuda berhoddie buluk ini punya sebuah .... (sisanya baca sendiri ya).

Endingnya memuaskan?
Buat gue, kurang memuaskan.
Gue berharap ada ending yang benar-benar di luar ekspektasi gue sebagai pembaca tapi sayangnya (menurut gue) endingnya agak cliché dan agak terburu-buru.
Konflik utama di novel ini (yang sampe dijadiin judul novel) diakhiri dengan penyelesaian yang menurut gue lebih mirip dongeng Cinderella.
Kalau secara blak-blak'annya pengen comment, "Jadi intinya semua kerja keras Erin itu sampai akhir pun belum cukup?" "Jadi intinya balik lagi ngarep ada pangeran berkuda putih datang menyelamatkan impian sang putri?"
Kira-kira begitulah yang bikin gue kurang puas. I am not a feminist tapi novel ini endingnya bikin gue ngerasa ujung-ujungnya yah lagi-lagi ngarepin bantuan dari yang cowok kaya :(
Padahal pas tengah-tengah cerita, gue berharap ada ide inovatif hasil kolaborasi Awan dan Erin yang bikin Teater Boneka ini bisa bersaing di zaman sekarang (*yah spoiler deh)
Sayangnya di ending, kesannya dengan uang dalam bentuk modal lebih besar, semuanya bisa diatur...Ouch! but this is truly how reality works.

Hal yang kurang memuaskan lainnya?
Konfliknya agak berubah. Dari yang awalnya tentang teater terus semakin ke belakang semakin fokus ke masalah si tokoh utama cowok. Penyelesaian konflik si tokoh cowok juga kesannya terlalu drastis. Semua masalah langsung selesai dalam hitungan 1 hari? WOW – sumpah gue nggak bermaksud nyolot, cuman biar dramatis aja gitu.
Belum lagi bagian ending hubungan antara Erin dan Awan? Pas baca soal ending buku yang diiket sama sebuah benda itu gue SHOCK! Bener-bener Shock.
Pengen teriak "seriously?"  Dua orang yang pacaran aja belum, suka-sukaan karena apaan aja belum jelas-jelas banget, dan ciuman aja belum jadi udah mau....
Again, it is just too good to be true.

Novel ini kan ditulis 3 orang, terasa nggak perbedaannya?
Nggak begitu terasa. Paling terasanya pas di bagian ucapan Terima Kasih aja.

Jadi kesimpulannya?
Kalau mau jadi penulis dan butuh referensi tulisan yang rapih dan mudah dicerna , menurut gue ini adalah salah satu karya yang patut dibaca.
Karya ini keluaran dari Gramedia Writing Project jadi bisa dilihat tulisan seperti apa yang diharapkan oleh editor-editor Gramedia.
Meksipun ending ceritanya kurang bikin gue puas, tapi gue tetap menikmati membaca novel ini sampe akhir. Setiap karakter digambarkan dengan jelas. Dari Pak Gun sampe Dedi dan Arum.
Tokoh favorite gue adalah ARUM. Karakter ini kayaknya asik kalau dijadiin karakter utama di Novel lain.
Tokohnya loveable dan realistis banget.

Nilai akhir novel ini?
Susah-susah gampang nih. Penulisannya oke banget kerapihannya tapi di lain sisi kurang sreng dengan ending yang diberikan.

7/10

Terima Kasih Emilya Kusnaidi, Orinthia Lee, Ayu Rianna dan segenap panitia Gramedia Writing Project untuk karyanya yang memorable. Terus menulis ya. Gue minta maaf kalau ada bagian tulisan gue yang terkesan agak nyolot… serius nggak bermaksud nyolot…cuman biar mendramatisir aja.. hahaha.


Sofi Meloni

4 comments:

  1. Ide ceritanya agak mirip kaya iklan samsung GALAXY note 3 ya.. Yg judulnya dreams. Tentang teater boneka yang mau ditutup..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Barusan searching videonya di youtube. Iya mirip awal2nya. Dapet banget feel teater Bonekanya. Makasih udah share :D

      Delete
  2. Hello, Sofi. Thanks for reading (and reviewing) Teater Boneka, ya :)

    ReplyDelete
  3. Nah setuju banget nih sumpah. Endingnya itu nggak banget. Perjalanan konflik sama ceritanya udah oke tapi makin lama makin melenceng ama tema utamanya. Yg awalnya bahas tentang teater malah lama kelamaan jadi bahas tentang percintaan. Ya oke aja sih kalo bahas percintaan tapi unsur teater bonekanya harus ada juga karena makin lama.makin pudar seiring jalannya cerita. Apalagi endingnya. Kurang banget menurutku karena ya ini cerita awal tentang teater masa penutupnya tentang mau melahirkan. Spoiler deh ;v. Kan kurang nyambung

    ReplyDelete