[REVIEW] Tjokroaminoto Film

Tjokroaminoto?

Siapakah beliau?
Sama halnya seperti Reza Rahardian yang awalnya tidak mengenal nama ini saat ditawari peran sebagai Oemar Said Tjokroaminoto, nama ini pun cukup asing untuk saya.
Maafkan saya YTH Oemar Said Tjokroaminoto.



Setelah menonton film ini, saya baru menyadari bahwa beliau merupakan salah satu tokoh penting serta guru besar bahkan sebelum negara ini kita sebut sebagai Indonesia.

Ceritanya tentang apa?
Film ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang Oemar Said Tjokroaminoto.
Ia dibesarkan dari keluarga yang berada dan sejak kecil ia selalu mempertanyakan tentang keberadaan Belanda dan kondisi masyarakat pribumi di Indonesia.
Tjokro muda digambarkan sebagai pribadi yang cukup "pemberontak" pada sistem yang diberlakukan di sekolah yang dikelola oleh Belanda.

Menjelang masa pemuda, ia juga digambarkan sebagai sosok yang tidak dapat menerima perlakuan semena-mena atasan Belanda pada masyarakat pribumi dan akhirnya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya di sebuah pabrik pengelolaan karet.
Cerita terus berjalan menceritakan bagaimana Bapak Tjokro berpindah-pindah menyebarkan apa yang ia percayai sampai akhirnya terbentuklah sebuah organisasi "Syarikat Dagang Islam" yang kemudian berubah nama menjadi Syahrikat Islam.

Bagus?
Menurut saya, film ini seperti dokumentasi perjalanan Tjokro dan apa saja yang terjadi dalam perjalanannya dalam melakukan dan menemukan makna hijrah.
Setting puluhan tahun sebelum kemerdekaan Indonesia berhasil digambarkan dengan sempurna.
Situasi dan beratnya kehidupan pra kemerdekaan berhasil digambarkan dengan cukup jelas dengan pemeran-pemeran pendukung serta properti yang digunakan.

Selain itu apalagi yang bagus?
Pemilihan karakter istri Tjokro yang sangat merepresentasikan wanita Indonesia tempo dulu.
Meksipun tidak diceritakan secara detail mengenai pertemuam Tjokro dan sang istri, hubungan keduanya berhasil digambarkan seperti hubungan suami istri pada tempo dulu. Tidak terlalu banyak detail mengenai cinta yang terlalu dibuat-buat. Simple dan sesuai setting waktu yang digunakan.
Foto-foto tempo dulu yang digunakan pada saat opening juga berhasil membuat bulu kudu merinding.

Ada yang kurang bagus?
Sebenarnya bukan kurang bagus. Mungkin saya saja yang merasa bahwa film ini bisa dihadirkan dengan cara yang lebih baik agar dapat lebih dinikmati dalam waktu yang hampir mencapai 3 jam.
Berikut pertanyaan dan kejanggalan yang muncul dalam benak saya.

1. Sebenarnya pekerjaan Bapak Tjokroaminoto ini seperti apa?
Sepanjang film saya kurang mengerti apa yang sebenarnya dilakukan beliau.
Terutama saat ia memutuskan untuk meninggalkan sang istri dan kembali saat anak mereka sudah lahir.
Saat beliau di Surabaya, saya sedikit mengerti dengan gambaran yang diberikan bahwa ia bekerja di penerbitan. Melalui tulisan-tulisannya, beliau mengerakkan masyarakat dan kemudian mendapatkan gelar pangeran tanpa mahkota dari pulau Jawa.
Saya sebagai penonton kurang mendapatkan gambaran tindakan-tindakan apa saja yang dilakukan beliau selain dari tulisan-tulisan yang disebar luaskan. Menurut saya, cerita mengenai bagaimana Bapak Tjokro menginspirasi pergerakan-pergerakan besar di tanah Jawa kurang dideskripsikan secara jelas.

2. Alur yang terlalu panjang.
Film ini cukup panjang, Mengikuti perpindahan Bapak Tjokro dari satu tempat ke tempat lain. Lalu ada juga cerita bagaimana murid Bapak Tjokro akhirnya membentuk organisasi bayangan.
Kemudian diikuti kemarahan pihak Belanda, baku tembak, sampai akhirnya penangkapan Bapak Tjokro.

3. Ending yang..."Meeeehhh"
Film ini diawali dan diakhiri dengan scene yang sama, saat Bapak Tjokro berada di penjara.
Ending yang dihadirkan terlalu mengantung untuk saya. Terkesan flat. Klimaks cerita pun tidak jelas ada dimana. Saya mengerti bahwa film ini merupakan film dokumenter, bukannya film-film drama romansa yang mengangkat konflik diikuti klimaks dan penyelesaian.
Namun, bagi saya sebagai penonton, penutup dan penyelesaian film mengenai Bapak Tjokro ini dapat dibuat lebih menarik dan memorable dibandingkan dibiarkan mengambang dan hanya diperjelas dengan narasi dalam bentuk keterangan tertulis pada akhir cerita.

4. Tokoh-tokoh yang kurang penting
Banyak keberadaan tokoh-tokoh yang patut dipertanyakan fungsinya. Seperti Ibu dari istri Tjokro yang tiba-tiba bermain piano dan menyanyi di tengah film. Kemudian Gatot Kaca dari pementasan yang selalu muncul dengan tongkat bintang dan kostum yang sama setiap saat. Kehadiran Chelsea Islan awalnya juga agak sulit dipahami. Namun konflik yang mengangkat tentang anak keturunan pribumi dan Belanda merupakan salah satu permasalahan yang menarik dalam film ini.

Intinya?
Film ini merupakan salah satu media pembelajaran tentang tokoh penting yang ada bahkan sebelum Soekarno membawa Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Mengerti akan jalan hidup Tjokro membuka mata saya sebagai penonton bahwa pemimpin hebat tentunya lahir dari pengaruh pemimpin lainnya. Hal lain yang saya acungi jempolnya dalam film ini adalah bagaimana kata "pribumi" digambarkan dalam era tersebut.

Entah cerita nyata atau bukan namun Bapak Tjokro dalam film telah mengingatkan bahwa baik pribumi maupun warga Tionghua (yang ada di Surabaya kala itu) seharusnya bersatu.
Hal tersebut membuat saya mengerti alasan yang melandasi keharmonisan suku Tionghua dan pribumi di daerah Surabaya, Semarang, dan sekitarnya.

Terima kasih Bapak Tjokro atas perjuanganya.
Terima kasih juga untuk produser + semua yang terlibat dalam pembuatan film ini. Kalian telah menyadarkan kami akan pentingnya keberadaan tokoh-tokoh penting seperti Bapak Tjokroaminoto.

Teruslah menghasilkan karya-karya seperti ini.

Sofi Meloni


0 comments:

Post a Comment