[REVIEW] Bulan Di Atas Kuburan Film

Jujur, pertama kami mendengar judul film ini, saya film ini merupakan salah satu film horor Indonesia.
Namun setelah melakukan browsing lebih lanjut, baru 'ngeh' kalau kata "kuburan" di sini memiliki arti lain bukan horor.

Kok judulnya aneh?
Film ini diangkat dari film yang sudah rilis pada tahun 1973.
Berdasarkan keterangn dari Wikipedia, film ini meraih penghargaan Festival Film Indonesia 1975 untuk pemeran pendukung pria terbaik (Aedy Moward).
Penasaran dengan jalan cerita yang dihadirkan, saya memutuskan untuk membaca plot cerita yang juga dihadirkan pada halaman wikipedia tersebut.
Setelah membaca, saya sukses dibuat penasaran untuk segera menonton film ini.





Ceritanya tentang apa?

Sinopsis yang dihadirkan oleh 21 adalah sebagai berikut.

"Diadaptasi dari film karya Asrul Sani BULAN DI ATAS KUBURAN tahun 1973. yang terinspirasi oleh sajak karya Sitor Situmorang yang berjudul Malam Lebaran

Bercerita tentang 3 sahabat TIGOR (Donny Alamsyah), SAHAT (Rio Dewanto) dan SABAR (Tio Pakusadewo) meninggalkan kampung halaman mereka di Samosir Sumatera Utara. Mereka merantau berharap bisa meraih impiannya. Sesampainya di Jakarta mereka terpisah dan menempuh hidup masing-masing. Bertemu dengan MONA (Atiqah Hasiholan) yang membuat kehidupan SAHAT di Jakarta menjadi berubah dan lebih rumit. Jakarta bukan hanya merebut persahabatan mereka, tapi juga kemanusiaannya."

Secara garis besar, Bulan di atas kuburan menceritakan tentang 2 pemuda asal sumatra, Sahat dan Tigor, yang memutuskan untuk datang ke Jakarta dengan iming-iming mengejar mimpi dan kehidupan yang lebih baik.
Melalui tetangga mereka yang bernama Sabar, mereka memutuskan untuk melancong ke Jakarta.
Kenyataannya perjuangan yang harus dilalui Tigor maupun Sahat tidaklah semudah yang mereka bayangkan.

Lalu?
Film ini menurut saya ingin mengangkat cerita mengenai perjuangan orang-orang yang datang ke Jakarta dengan pengharapan kehidupan yang lebih baik.
Sayangnya harapan tersebut tidaklah selalu dapat terwujud dengan mudahnya.
Banyak orang yang bersilkeras bertahan di Jakarta meskipun sebenarnya kehidupan di Jakarta sendiri tidaklah lebih baik dari kehidupan yang mereka miliki di kampung halaman.

Bagus?
Pengambilan gambar setiap scenenya bagus.
Bagaimana pulau samosir juga dishoot membuat saya sebagai penonton ingin mengunjungi samosir secara langsung. Karakterisasi setipa tokoh yang ada juga sangat

kuat. Memang kemampuan para pemeran utama maupun cameo-cameo yang muncul tidak perlu diragukan lagi. Gambaran kehidupan jalanan di Jakarta juga berhasil disampaikan dengan cukup baik. Lalu, pesan yang ingin disampaikan oleh keseluruhan cerita dalam film ini juga baik dan dapat dimengerti dan dipahami.
Hidup di Jakarta tidaklah seindah yang orang-orang bayangkan.

Ada tidak bagusnya?
Menurut saya, ada beberapa hal yang sedikti mengganggu dan dapat dikembangkan agar film ini jadi lebih mudah dinikmati secara lebih sederhana.
1. Alur cerita yang terlalu lamban.
Entah mengapa, bagi saya jalan cerita terlalu lamban. Dari awal digambarkan kehidupan Sabar, Sahat, dan Tigor di kampung halaman mereka. Kemudian diikuti oleh bagaimana Sahat berpamitan dengan sang ibu.
Dalam perjalanan Sahat dan Tigor ke Jakarta, mereka berdua bertemu dengan tokoh yang agak "nyetrik". Menurut saya kehadiran tokoh ini tidak pada tempatnya dan tidak terlalu memberikan sumbangsi pada jalan cerita.
Kemudian jalan cerita antara Sahat dan juga Mona. Tidak begitu jelas bagaimana Mona dan Sahat dapat terlibat dalam jalinan cinta.
Yang paling tidak jelas adalah pertanyaan apakah Sahat pada dasarnya benar-benar mencintai Mona atau bersedia menerima Mona hanya karena ketenaran serta uang yang ditawarkan oleh Ayah Mona.

2. Konflik yang telalu cepat penyelesaiannya.
Dengan alur yang cukup lambat, sedikit mengejutkan bagaimana Sahat dan Mona tiba-tiba sudah menikah dan Sahat akhirnya terjun ke dalam dunia politik.
Sama halnya dengan hubungan antara Tigor dan Nissa. Semuanya terasa cukup cepat tanpa ada penjelasan yang cukup.
Masalah yang tiba-tiba saja menimpa bang Sabar juga terkesan terlalu dangkal. Tender-tender palsu? Lalu saya sebagai penonton bahkan sulit sekali mendapatkan gambaran penipuan atau politik busuk apa yang dijalankan oleh Pak Sabar.

3. Ending yang kurang pas.
Pada akhir cerita, digambarkan bagaimana semua tokoh mendapatkan akhir yang kurang baik. Sayangnya, saya juga tidak mengerti mengapa kematian ibunda dari Sahat menjadi penutup untuk semuanya. Menjelang akhir cerita, digambarkan bagaimana Mona dan Sahat berpisah, meskipun hanya melalui kata-kata. Namun anehnya, Mona kembali muncul pada pemakaman ibu Sahat.

Intinya?
Sebagai penonton saya merasa banyak sekali pesan-pesan tersimpan dalam setiap adengan yang ditampilkan.
Dikarenakan jalan cerita yang cukup panjang, sulit untuk saya dengan sabar menikmati setiap adegan.
Saya juga kesulitan menemukan titik klimaks maupun solusi dari permasalahan yang ditampilkan.
Mungkin film ini memang mengedepankan perasaan frustasi saat harapan yang menjulang tinggi akhirnya tidak dapat tercapai sesuai keinginan awal.

Hal yang menarik dalam film ini adalah dialog-dialog pintar yang terlontar dari para karakter di film ini. Misalnya bagaimana Pak Sabar mengatakan sesuatu tentang hidup di Jakarta kepada Tigor dan juga Sahat. Bagaimana Mona melihat Jakarta sebagai kubangan tinja.
Dan yang paling mengena adalah bagaimana menurut Sahat, Mona sebagai orang yang selama ini hidup berkecukupan terlalu naif mengharapkan kehidupan sederhana di pulau Samosir.

Ininya meskipun film ini cukup panjang, film ini memiliki banyak sekali pesan-pesan tersembunyi khususnya untuk orang-orang yang percaya bahwa Jakarta adalah ladang pengharapan.

Terima kasih untuk filmnya!

Sofi Meloni

0 comments:

Post a Comment