[PROLOG] Membuat Bulan



Prolog
Membuat Bulan
Serang, 1992
 Hal buruk selalu terjadi pada malam hari. Saat langit berwarna gelap dengan sinar bulan yang tertutup oleh awan tebal dan disertai hujan lebat, maka kumpulan roh jahat akan datang dan merebut kebahagiaan yang dimilikinya. Setidaknya hal itu yang selalu dipercaya oleh Amaya. Kelinci putih miliknya meninggal keesokkan paginya setelah melalui malam berbadai bersamanya di kolong tempat tidur. Kemudian malam seperti itu datang lagi dan berujung kepergian Ibu Amaya yang meninggalkan rumah ini. Meski samar, ia masih bisa mengingat bagaimana dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari sang ayah yang menghentikan langkahnya untuk mengejar ibunya. Ia menanggis hebat, entah karena gengaman ayahnya yang cukup erat di perutnya atau melihat ibunya berjalan keluar dari rumah mereka tanpa berbalik lagi. Hal yang paling melekat dalam ingatannya adalah wajah sang ibu yang memandangnya dengan derai air mata tidak berdaya. Semakin lama Amaya semakin percaya dengan mitos itu. Pada malam saat ia tidak bisa menemukan bulan, gadis itu yakin bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi padanya kalau hujan ikut turun setelahnya. Selama hampir 2 tahun ia percaya adanya ulah iblis yang akan datang menganggu dan membawa pergi kebahagiannya. Tidak perduli seberapa sering ayahnya menyakinkannya bahwa cerita itu tidak masuk akal, Amaya tetap percaya meskipun usianya yang sudah menginjak tahun ke 7.
Amaya punya ritual sendiri untuk mengatasi ketakutannya. Ia akan membuka jendela kamarnya yang terletak di sisi kanan lantai 2 rumah ini dan melempar batu-batu kerikil ke sebuah jendela yang ada tepat di depannya. Pengalaman mengajarkannya kalau ia perlu melemparkan setidaknya 6 batu kerikil sebelum seseorang di balik jendela itu menyadari apa yang dilakukannya. Amaya baru menggangkat tangannya berniat melemparkan batu kerikil ke lima yang baru ia raih dari gengaman tangan kirinya ketika jendela di sebrang tempatnya berada terbuka. 
“Stop, nanti lama-lama jendelaku pecah.” Seorang anak laki-laki seusianya memandang Amaya sambil menahan tawa terlihat sibuk membuka kedua jendelanya lebar-lebar. Meski samar, Amaya bisa mendengar apa yang dikatakan teman ritualnya dan mulai tersenyum kecil.
“Mau bikin bulan lagi?” tanya anak laki-laki itu kali ini sambil melipat kedua tangannya di tepi jendelanya. Rumah keduanya memang bersebelahan dan kedua anak itu hanya terpisah dalam jarak kurang dari 5 meter. Amaya mengangguk kemudian ia teringat sesuatu yang bisa memudahkan komunikasi antara keduanya. Ia membungkuk berusaha mencari di antara tumpukan mainan di area kakinya. Ia akhirnya menemukannya, dua kaleng susu yang dihubungkan seutas tali. Dengan cekatan ia melepar salah satu kaleng itu dan berhasil mendarat di tangan anak lelaki yang sebelumnya juga sudah sigap menangkapnya.
“Test-test..ganti.” bisik anak lelaki itu sesaat setelah menempelkan mulutnya ke lubang di kaleng susu itu pada saat Amaya meletakkan kaleng susu pada daun telinganya.
“Test-test… “ kali ini Amaya yang bersuara.
Saat merasa puas dengan percobaan yang mereka lakukan, keduanya mengacungkan jempol mereka memberi isyarat bahwa keduanya sama-sama bisa mendengar satu sama lain.
“Sentermu mana, Ben?” Bisik Amaya sambil mengacungkan benda seukuran tempat pensil ke arah lawan bicaranya.
Yang diajaknya bicara tidak langsung menjawab melainkan memperlihatkan ekspresi binggung yang kemudian diikuti seulas senyum yang sangat lebar. Benny mengaruk-garuk kepalanya perlahan kemudian mulai memandang ke sekelilingnya seolah sedang mencari sesuatu. Tidak lama kemudian, Benny beranjak dari jendela dan akhirnya menghilang dari pandangan Amaya. Amaya kenal betul ekspresi itu, pasti Benny tidak ingat dimana ia meletakkan senter miliknya lagi.
Amaya mengenal Benny setahun setelah ibunya pergi meninggalkan rumah ini. Rumah yang terletak persis di sebelah rumahnya sebelumnya telah kosong dalam waktu lama sampai suatu hari ia mendengar suara seorang anak laki-laki berteriak memanggilnya “Teman”. Awalnya ia tidak menghiraukannya dan kembali sibuk dengan kegiatan mengambarnya. Ia benci berbicara dengan orang asing karena kebanyakan dari pengalamannya orang hanya akan memandangnya iba karena ia tidak memiliki seorang ibu. Tahu akan gangguan yang menantinya di sebrang jendela kamarnya, Amaya menguci rapat bagian berkaca itu dan menarik tirainya sampai tidak ada setitik sinar pun bisa mengintip masuk ke dalam kamarnya. Ia pikir ia telah berhasil karena ia tidak bisa lagi mendengar suara teriakan anak lelaki itu. Tapi kenyataannya, keesokan hari ia mendengar suara jendelanya dihantam benda tanpa henti. Rasa penasaran membuatnya membuka tirainya dan wajah anak lelaki itu yang ada di sana tersenyum kepadanya dengan gigi depannya yang sudah tanggal sambil melambaikan tangan penuh semangat sambil berteriak “Namaku Benny. Namamu siapa, teman?”
Setidaknya butuh lebih dari sepuluh menit sebelum Benny kembali muncul di sisi jendelanya dan membalas pesan yang dikirimkan Linda melalui kaleng susu itu.
“Ketemu!” teriaknya kegirangan sambil mengacungkan senter berwarna biru dengan penuh semangat.
“Sekarang ayuk kita mulai” ucapnya kali ini seolah memimpin upacara yang benar-benar penting.
Keduanya berlari mematikan lampu kamar mereka kemudian kembali lagi ke sisi jendela dengan senter yang telah dinyalakan. Benny yang awalnya mengusulkan untuk mematikan lampu, ia pikir dengan begitu cahaya dari senter akan semakin terlihat jelas di langit dengan dukungan nuansa gelap kamar mereka. Amaya menurut saja dan semenjak itu mereka selalu mematikan kamar sebelum keduanya sibuk menyinari langit di atas mereka. Sinar senter yang mereka miliki memang tidak cukup terang untuk membuat tanda di langit yang gelap namun keduanya percaya dengan melihat sinar putih melewati wajah mereka, sinar tersebut sampai ke langit dan dengan begitu malam tidak berbulan tidak akan terlalu gelap. Mereka percaya kalau sinar yang mereka buat akan menghalau para roh jahat untuk datang menghampiri mereka.
Setidaknya 15 menit sudah berlalu dengan keheningan di antara keduanya. Benny sudah menguap untuk yang ke lima kalinya. Sesekali dengan usil ia menyinari wajah Amaya untuk mencari kebosanan seperti yang ia rasakan namun ia jelas tidak menemukannya.
“May, kalau langitnya sudah berbintang, kayaknya kita nggak perlu lagi senter ini” suara Benny terdengar jelas, anak itu setengah berteriak. Ia terlalu malas mengunakan kaleng susu dengan senter dalam gengamnya.
“Perlu Ben!” sahut Amaya yakin tanpa mengalihkan pandangannya dari langit yang tengah ia terangi.
“Tapi aku ngantuk May” anak lelaki itu terdengar setengah merenggek sambil menekuk wajahnya dan bersandar malas pada sisi jendelanya.
“Sebentar lagi Ben, sampai bulannya muncul atau sampai batrenya habis.” Jelas Amaya masih sambil menatap langit.
Benny kembali bangkit memandang Amaya masih dengan kerutan di keningnya.
“Tapi May, senter aku kan baru ganti batre.” ia terdengar semakin putus asa.
Tidak lama setelah keheningan di antara mereka ada kilatan cahaya yang diikuti suara gemuruh yang bertautan. Keduanya menjatuhkan senter yang mereka pegang dan bergegas menutup telinga dengan kedua tangan mereka. Tidak berhenti sampai di situ, mereka bisa merasakan angin menyapu wajah mereka diikuti titik-titik air yang ikut terbawa angin.
“Sekarang bagaimana May?” Benny kembali berteriak masih sambil menutupi kedua telinganya.
Amaya masih bisa mendengar jelas meskipun ia juga tengah berusaha keras menutupi kedua telinganya. Belum sempat ia menjawab, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan ia bisa merasakan ayah mengendongnya menuju tempat tidurnya setelah sebelumnya menutup jendela itu rapat-rapat. Ia sempat berusaha memberontak, namun melihat wajah ayah yang terlihat murung, ia memutuskan untuk mengurungkan niatnya. Setelah ayah meninggalkan kamarnya, Amaya kembali menuruni tempat tidurnya dan dengan tergesa-gesa menyibak tirai jendelanya. Meski jendela Benny juga sudah tertutup serapat miliknya, Benny masih berdiri di sana menyungging senyum sambil melambaikan tangan saat melihat Amaya. Malam itu sebelum tidur Amaya berdoa semoga tidak ada hal buruk yang terjadi keesokkan harinya. Malam ini mereka gagal menerangi langit, lebih buruknya malam tidak berbulan ini disertai kehadiran hujan badai.
**
Tidak perduli sudah berapa banyak kerikil yang ia lemparkan ke jendela di depannya, keduanya tetap tertutup. Bahkan tirainya saja tidak bergerak sedikit pun. Sesekali ia menambah kekuatan yang ia gunakan untuk melempar kerikil itu berharap suara yang dibuat semakin nyaring dan membuat Benny sadar kalau dirinya sedang memanggilkan. Entah apa yang sedang dilakukan Benny sekarang. Tidak biasanya teman sepermainannya tidak membuka jendela kamarnya. Ia hampir kehabisan batu kerikil dalam gengamannya sebelum sudut matanya melihat Benny berjalan keluar dari rumah bersama kedua orang tuanya. Om dan tante terlihat sibuk memasukkan tas-tas besar ke bagian belakang mobil mereka sementara Benny mengusap-gusap matanya berulang kali. Amaya tidak mengalihkan pandangannya dari anak lelaki dengan ransel merah sampai akhirnya Benny membalas tatapan Amaya. Benny tidak tersenyum seperti yang selalu ia lakukan saat melhat Amaya, ia menunduk sambil terus mengusap kedua matanya. Saat itu Amaya sadar, Benny sedang menanggis.
Binggung dengan apa yang sedang terjadi, Amaya berlari keluar dari kamarnya dan dengan tidak sabaran menuruni anak tangga yang berakhir di ambang pintu keluar rumahnya. Pikirannya kosong, ia tidak mengerti mengapa Benny tiba-tiba saja menanggis dan mengapa kedua orang tua Benny membawa banyak tas besar… hal itu mengingatkan Amaya pada ibunya… Ibunya juga membawa tas besar dan tidak pernah kembali. Amaya kini bisa melihat dan juga mendengar isakan Benny yang masih terdengar meskipun ia sudah berada di dalam mobil. Ia juga menemukan ayahnya yang membantu menutup pintu bagian mobil belakang yang penuh dengan tas-tas besar dan juga sepeda biru Benny yang terikat rapih. Amaya masih bingung dan akhirnya mengerti saat ia melihat ayahnya melambaikan tangan dan mobil itu mulai melaju.
“Benny!” tanggisan Amaya pecah.
Tidak perduli seberapa keras ia berusaha, ayah tidak memberikannya kesempatan untuk mengejar mobil itu. Ia meronta berteriak memanggil Benny berulang kali. Di balik matanya yang berkabut, ia bisa melihat mobil merah itu tidak berhenti dan akhirnya menghilang di ujung jalan.
Amaya kini sadar bukan hanya karena langit gelap tidak berbulan yang diikuti hujan badai yang membawa petaka dalam hidupnya tapi juga kehadiran ayahnya. Ayahnya selalu ada di sana, menghentikannya mengejar apa yang menjadi kebahagiaannya.
**

*Masukan anda akan sangat berarti bagi saya. Terima Kasih Banyak

0 comments:

Post a Comment