"Bukan Salah Waktu? Maksudnya apa ya?”
Pertanyaan ini juga yang muncul di kepala saya pas denger ada buku dengan judul seperti ini.
Detail dari buku dan Blurbnya adalah sebagai berikut
Judul : Bukan Salah Waktu
Penulis : Nastiti Denny
Penerbit : Bentang Pustaka
ISBN : 978-602-7888-94-4
Harga : Rp. 46.000,-
Jumlah Halaman : 244 lembar
Cetakan Pertama : Desember 2013
"Tahukah Kau, Sayang ….
Aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku rela kehilangan segalanya kecuali kamu. Aku sanggup melepas duniaku demi dunia kita bersama.
Namun, ketika waktu bergulir tanpa bisa dibendung, ketika kenyataan memaksa untuk dipahami, ketika kesalahan memohon untuk dimaafkan, kurasa aku tak sanggup Sayang ….
Entahlah, siapa yang harus memahami dan mengalah. Tapi mungkin, aku butuh seribu cara untuk mengobati luka hati ini."
Jujur, saya pertama kali tahu tentang buku ini karena lomba review yang disponsori Kampung Fiksi dan didukung oleh Bentang Pustaka. Setelah searching-searching soal buku, di covernya ada cap:
"PEMENANG - Lomba Novel Wanita Dalam Cerita - Naskah Pilihan"
Dengan label seperti itu semakin yakin buat beli bukunya dan ikut lomba reviewnya. Soal menang atau nggak lomba reviewnya urusan belakangan.
"Ceritanya tentang apa?"
Pertanyaan itu juga yang sempat muncul di kepala saya pas liat cover buku ini. Sayangnya pas baca Blurb, saya juga belum mendapatkan gambaran cerita dalam buku ini seperti apa.
Rasanya pengen baca review orang lain tentang buku ini tapi karena takut terpengaruh nantinya pas baca novelnya. Akhirnya tanpa terlalu tahu isinya, saya pun tetap memutuskan untuk membeli novel ini.
Karena novel ini adalah novel pilihan dari hasil lomba wanita dalam cerita, tentunya tema utama yang diangkat adalah tentang wanita.
Tokoh utama dalam novel ini adalah Sekar, seorang wanita yang diawal cerita memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan untuk fokus menjadi ibu rumah tangga. Suaminya, Prabu, tidak mendukung maupun menolak gagasan tersebut. Prabu pun tidak menyadari kalau sebenarnya ada alasan khusus dibalik keputusan Sekar. Awalnya Sekar mengalami sedikit kesulitan dalam perubahan perannya. Terlebih, rahasia yang ia simpan dari suaminya perlahan mulai terungkap.
Hal mengejutkan lainnya adalah sebuah kenyataan bahwa bukan hanya Sekar yang menyimpan rahasia dalam kehidupan rumah tangganya. Seorang pria bernama Bram datang dalam kehidupan Sekar dan menyakinkannya kalau suaminya juga memiliki rahasia masa lalu yang kelam. Cerita terus berlanjut dengan terbongkarnya rahasia demi rahasia yang dimiliki oleh Sekar dan Prabu.
Mau tahu rahasianya apa? Mau tahu kelanjutan hubungan pasangan suami istri ini seperti apa? Temukannya jawabannya di dalam novel ini.
"Jadi tema utamanya tentang apa?"
Menurut saya temanya adalah tentang masa lalu dan dampak dari ketakutan akan masa lalu itu sendiri yang berefek pada kehidupan yang sedang berjalan.
Jika yang dimaksud humor itu seperti kehidupan rumah tangga dalam serial Korea "Full House", maka novel ini jauh dari unsur humor seperti itu. Novel ini cenderung serius dari awal sampai akhir.
Jalan cerita juga dibubuhi beberapa potongan cerita yang tergolong romantis seperti note-note yang ditinggalkan Prabu untuk Sekar.
"Settingnya dimana?"
Setting utamanya di kota Tangerang - Jakarta, Bogor, dan Jogjakarta.
Penjelasan detail mengenai setting lokasi tidak terlalu menojol dibandingkan deskripsi tempat dalam cerita. Penulis berhasil mendeskripsikan setiap bagunan dan suasana tempat (terutama rumah -baik rumah Sekar, rumah orang tua Sekar, sampai rumah Bram) dengan sangat baik sekali.
Penjelasan yang begitu jelas membuat saya sebagai pembaca bisa mendapatkan gambaran visual yang benar-benar jelas soal tempat berlansungnya cerita.
"Plotnya seperti apa?"
Plotnya maju diselingi beberapa flashback kejadian masa lalu.
Cerita dimulai dengan sebuah kejadian yang penyebabnya tidak disebutkan secara jelas. Seiring berjalannya cerita, perlahan alasan-alasan atas kejadian di masa kini mulai dijelaskan dengan menayangkan kilas balik (flashback).
Saya sangat menikmati moment dimana saya membaca kilas balik. Kebanyakan kilas balik merupakan kejadian penting dan penjelasan yang diberikan pada saat kilas balik tidak berbelit-belit dan membuat saya memahami alasan dengan cepat.
"Apa yang bagus dari Novel ini?"
Cukup banyak bagian dari novel ini yang patut diacungi jempol.
1. Tema
Tema yang diangkat adalah permasalahan kehidupan berumah tangga yang berkaitan dengan masa lalu.
Meskipun saya belum menikah, namun ketika membaca novel ini, penulis berhasil membuat saya memahami perasaan tokoh utama dalam cerita ini. Saya bisa merasakan keraguan, rasa sakit hati, termasuk emosi-emosi lain yang dirasakan Sekar. Ditambah lagi saat diungkap bahwa masa lalu adalah alasan dari setiap emosi yang ditunjukkan Sekar pada masa kini.
Menurut saya penulis berhasil membangun rasa emphaty untuk sang tokoh utama.
2. Jalan cerita yang tidak tertebak.
Dari awal bab, saya sebagai pembaca berhasil dibuat penasaran sama jalan cerita. Awalnya memang agak sedikit membinggungkan tapi ketika di bab lanjutan ada misteri baru yang muncul yang membuat saya sebagai pembaca semakin penasaran. Sampai menuju akhir buku pun, endingnya tidak bisa ditebak.
Saat menyadari tinggal beberapa lembar tersisa sebelum novel ini berakhir, saya sebagai pembaca malah jadi panik, "loh.. loh.. ini gimana nih.. kok masih gini?" - hahaha
Untungnya bagian Epilog menutup semuanya dengan sempurna.
3. Adegan-Adegan Flashback yang dapet banget.
Setiap kali saya sampai di bagian flashback yang ditandai dengan jenis tulisan yang berbeda, saya bener-bener dibuat fokus membaca jalan cerita. Kata-kata yang digunakan penulis dalam menulis flashback berhasil membuat adegan demi adegan bermain di kepala saya. Meskipun cuman sepotong dan cenderung cepat tapi porsinya benar-benar pas.
4. Konsistensi Penokohan
Semua tokoh yang ada dalam cerita punya konsistensi penokohan yang baik. Pembaca dibuat mengerti alasan dibalik tindakan tokoh (kecuali Kakak beradik Bram & Laras - terutama Laras) hahaha.
Tokoh yang menurut saya paling menarik adalah Marni. Tokohnya terasa begitu hidup dan realistis meskipun kemunculannya hanya pada awal dan akhir cerita.
5. Pesan moral dari Novel ini
Pesan yang saya tangkap adalah bahwa rasa malu dan takut akan masa lalu hanya akan membuat kita kurang dapat mensyukuri apa yang kita miliki pada masa sekarang.
Tidak perduli sebagaimana pun kita mau menyesali apa yang terjadi, pada kenyataannya tidak ada yang bisa dirubah karena yang sudah terjadi memang sudah terjadi.
Sakit hati terhadap seseorang hanya membuat kita semakin lelah menjalani hidup ini. Sedangkan orang yang menjadi objek sakit hati mungkin sama sekali tidak terpengaruh dengan apa yang kita rasakan.
Sepertinya Mbok Ijah adalah tokoh yang paling memahami hal ini. Terima Kasih atas pengingatnya Mbok ijah.
"Selain yang bagus-bagusnya?"
Ada beberapa bagian dari novel ini yang menurut saya dapat diperbaiki atau dikembangkan agar menjadi lebih baik lagi.
Pertama kali searching dan liat cover novel ini, saya kira ada unsur humor di novel ini.
Jenis jam yang digunakan (berpita lucu), perpaduan warna, sampai dengan tipe tulisan yang digunakan memberikan kesan ceria pada cover novel ini.
Desaign serupa juga ditemukan pada bagian blurp.
Desaign serupa juga ditemukan pada bagian blurp.
Ini adalah salah satu alasan mengapa saya sempat terkejut ketika membaca beberapa bab awal cerita dan mulai mempertanyakan "Jadi ini ceritanya serius?"
Mungkin akan lebih baik jika cover novel mengunakan warna yang lebih soft dan kalem dengan ukuran object yang lebih kecil dan vintage.
Blurb yang digunakan mungkin bisa disebut sebagai puisi ada ungkapan kata-kata dari seseorang.
Sayangnya dengan blurp seperti ini, saya sama sekali tidak bisa mendapatkan gambaran mengenai apa cerita dalam buku ini.
Mungkin akan efektif jika memang tujuan penulis memberikan kejutan kepada pembaca.
Namun, dari pengalaman saya dan teman-teman saya, salah satu faktor penentu kami membeli sebuah buku adalah gambaran singkat isi cerita yang terdapat di bagian blurb.
Namun, dari pengalaman saya dan teman-teman saya, salah satu faktor penentu kami membeli sebuah buku adalah gambaran singkat isi cerita yang terdapat di bagian blurb.
Akan lebih baik jika gambaran singkat mengenai isi cerita atau tema utama yang diangkat juga ditampilkan pada bagian blurb.
3. Alur cerita dari bab - bab awal agak berjalan lambat jika dibandingkan bab-bab lainnya.
Saya sedikit merasa bosan dan binggung saat membaca bab-bab awal cerita. Binggung yang saya maksud dikarenakan saya tidak mengerti mau dibawa kemana cerita yang ada.
Tidak ada konflik yang jelas (dan cenderung sepele) selama bab 1 dan 2. Saya sempat ingin melepaskan novel ini untuk sementara. Untungnya, bagian flashback pada bab 3 membuat cerita menjadi menarik diikuti ke bab-bab selanjutnya.
Penulisan di bab-bab awal menurut saya juga cukup berbeda dengan bab-bab di pertengahan sampai akhir. Pada bab-bab awal penulisan terasa kaku dan kalimat terasa putus-putus (kurang mengalir).
Banyak pengulangan kata yang membuat bacaan menjadi monoton. Berbeda dengan bagian flashback yang mengalir dengan jumlah informasi dan kalimat yang lebih efisien.
4. Terlalu banyak Informasi tidak penting yang dicantumkan
Lagi-lagi hal ini banyak saya temukan pada bab-bab awal. Saya merasa penulis seperti ingin benar-benar memastikan bahwa pembaca mendapatkan gambaran yang benar-benar jelas atas berbagai hal.
Mulai dari hal besar sampai hal kecil yang sebenarnya tidak terlalu significant untuk jalan cerita. Salah satu contohnya misalnya mengenai Sisie - penokohan Sisie dijelaskan dengan sangat detail tapi nyatanya ia hanya muncul sekali dua kali. Kemunculan dan penokohannya juga tidak terlalu memerlukan penjelasan sepanjang itu.
Saya juga kadang dibuat binggung dengan pengunaan POV ketiga yang membuat penulis seperti kehilangan fokus. Misalnya lagi pada halaman enam (6), ada kalimat "Darimana dia tahu kalau Sekar mencarinya?" Kalimat ini membinggungkan dan menurut saya tidak pada tempatnya. Mungkin jika mengunakan POV ketiga yang terbatas (hanya fokus pada 1 karakter pada satu waktu) penulisan akan lebih baik lagi.
Terdapat juga beberapa penjelasan yang menurut saya tidak penting ditengah-tengah jalan cerita yang porsinya terlalu banyak dan membuat saya sulit fokus pada jalan cerita.
5. Penokohan Bram dan Laras yang terlalu cliche dan aneh.
Penokohan setiap karakter di buku ini menurut saya sudah sangat baik kecuali kedua tokoh kakak beradik ini. Meksipun dijelaskan alasan mengapa mereka berdua bersikap demikian, penjelasan tersebut masih sulit untuk saya terima.
Belum lagi ditambah dengan kenyataan Bram jatuh cinta kepada Sekar tanpa alasan yang jelas. Ketertarikan fisik? Cinta pada pandangan pertama? Saya tidak menemukan alasan mengapa Bram bisa sampai jatuh cinta terhadap sosok Sekar secara tiba-tiba. Menurut saya hal ini terlalu dipaksakan dalam jalan cerita.
Penokohan Laras lebih tidak masuk akal lagi. Dia kabur karena stress, namun ketika bertemu dia menjebak Prabu? Belum lagi kenyataan kalau ia baru muncul 8 tahun kemudian. Konflik ini masih agak sulit saya terima dan terkesan terlalu cliche.
6. Klimaks yang hilang
Selama membaca novel ini saya kesulitan menemukan dimana letak klimaks permasalahan antara Sekar dan Prabu. Klimaks satu-satunya saya dapatkan adalah ketika Sekar dewasa bersembunyi di bawah meja dalam kunjungannya ke rumah Ibunya.
Seharusnya yang menjadi masalah utama dalam cerita ini adalah masa lalu Sekar dan juga masa lalu Prabu.
Untuk masa lalu Sekar, penyelesaian konflik berhasil digambarkan dengan sangat baik, namun sayangnya hampir tidak ada keterlibatan Prabu di dalamnya. Hanya ada Sekar, Mama, dan Mbok Ijah.
Salah satu konflik yang cukup menarik dalam cerita ini adalah mengenai masa lalu Prabu dan Laras. Namun sayangnya permasalahan itu selesai tanpa ada bagian klimaks. Secara tiba-tiba diberitahukan bahwa Bram dan Laras salah sangka dan mereka mendendam pada orang yang salah. Hanya itu saja.
Tidak ada bagian dimana Prabu dan Laras membahas apa yang telah terjadi bersama-sama sebagai suami istri. Semuanya dibiarkan saja terjadi dan berjalan begitu saja.
Saat prabu mengetahui kalau Sekar hamil juga tidak ada emosi yang tergambar jelas. Kehamilan Sekar seolah-seolah hal biasa untuk Prabu.
7. Ending yang tidak jelas (Bab terakhir).
Menurut saya, penutupan pada bab terakhir cenderung cliche dan menjadi tidak jelas.
Konflik pada awal cerita mengenai Sekar yang bergelut dengan pertukaran peran dari wanita karir yang menjadi ibu rumah tangga seperti hilang begitu saja dan tidak ditutup dengan jelas. Ada bagian yang menyebutkan Sekar bahagia mendengar tawaran pekerjaan dari Sisie namun ia juga bimbang karena ia hamil. Sampai ending tidak dijelaskan apakah ia memutuskan untuk kembali menjadi wanita karir atau tidak.
Di Ending adanya perubahan karakter Wira juga agak dipaksakan. Ketika diselamatkan oleh Sekar, penokohan Wira digambarkan cenderung diam dan tidak mengerti apa yang telah terjadi. Namun saat bertemu kembali. tokoh Wira seakan-akan menjadi sangat aktif dan mengidolakan Sekar. Bagian ini lagi-lagi agak tidak masuk akal.
penutupan cerita terkesan diundur-undur kemudian dibuat tergesa-gesa. Untungnya bagian epilog menjadi bagian yang memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menebak apa yang sebenarnya sudah terjadi.
Hal kecil yang bisa diperbaiki lainnya adalah beberapa bagian dimana informasi antar Bab tidak sinkron (misalnya nama panti asuhan dan jenis pekerjaan). Hal teknis lainnya adalah ending bab akan terasa lebih manis jika mengunakan symbol dua hati (seperti pada penutupan sub bab) dibandingkan hanya mengunakan tanda []
"Jadi intinya cerita ini bagus atau tidak?"
Agak sulit memberikan nilai mutlak pada buku ini karena banyak bagian yang memuaskan namun bagian yang bisa diperbaiki juga tidak sedikit. Hal terpenting bagi saya adalah jalan cerita dapat diikuti. Saya ikut hanyut dalam permainan emosi menyangkut masalah masa lalu terutama mengenai bagaimana seorang anak dibesarkan oleh orang tua.
Sudahkah kamu memaafkan apa yang telah terjadi di masa lalu?
Akhir kata saya ucapkan...
Terima kasih Sekar untuk pelajaran hidupnya.
Terima kasih Mba Nastiti Denny atas karyanya yang begitu bermakna.
Terima Kasih Bentang Pustaka yang telah menerbitkan karya ini.
Terima Kasih Kampung Fiksi yang telah menyelengarakan lomba resensi (Bukan) Salah Waktu yang membuat saya kenal dengan karya ini.
Tetap berkarya selalu.
Sofi Meloni
0 comments:
Post a Comment